Selasa, 19 April 2016

Penyamun Negeri Hilir



Entah dimana lautnya, desa itu dinamai dengan Kampung Mutiara. Dalam sejarahnya, tak pernah berdiri kerajaan atau petilasan yang mungkin meninggalkan harta tertanam yang menjadi awal mula penamaan kampung. Tapi, logika sedehana menegasakan bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Setiap sesuatu yang terjadi jaman kini pasti hasil dari
sejumlah rentetan proses yang telah bergulir sebelumnya. Bak pepetah para tetua, rajin pangkal pandai. Malas pangkal bodoh. Hemat pangkal kaya, dan nikmat pangkal paha.

Lalu kenapa kampung itu bernama Mutiara? Sebuah riwayat yang tak tertulis menyebut dahulu daerah ini mulanya dibuka oleh sekelompok orang pelarian. Namanya, Muti, Mutia, Uti, Tia, Tiara dan Ara. Mereka adalah pelarian dari Negeri Hilir yang diserang asap sepanjang jaman. Dalam pelariannya yang tak menggunakan kapal layar, mereka akhirnya tiba di suatu daerah yang banyak tumbuh pohon rambutan. Mereka tinggal disitu dan menamai kampung dengan sebutan Kampung Mutiara. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1965 silam. Saat Indonesia bergejolak hebat karena ulah Soeharto.
50 tahun selanjutnya, para pendiri kampung telah lama mangkat dan meninggalkan sebuah rumah yang kini tak perpenghuni. Rumah itu tak karuan. Terletak tepat di pertigaan. Tampak berantakan di luar dan bagian dalamnya. Tak terawat hingga terkesan seram atau keramat. Tak berlampu bak rumah hantu yang membuat penasaran orang melintas. Takut tapi penasaran. Begitulah rasa takut. Tak ubahnya seperti rasa cinta, kadang bikin takut tapi juga menghadirkan penasaran. Tepatnya, meski takut mengungkapkan, namun rasa penasaran tetap tumbuh. Maka, mencintai cinta itu seperti melihat rumah hantu. Menciptakan penasaran dan rindu.
*****
Lima pemuda pulang kuliah di suatu senja. Bersantai di atas saung seharga empat juta rupiah. Atap rumbia dengan dinding dan lantai bambu. Bambu kuning yang pada kurun tahun 1990an dikenal ampuh menjadi jimat penangkal makhluk pemburu kepala anak. Mereka bercanda. Bergitaran. Ngobrol ngalor ngidul. Sesekali mereka menatap ke sebelah kiri. Melongokkan kepala ke atas pagar setinggi orang Somalia.
Adzan yang berkumandang membuat kawanan pemuda itu girang bukan kepalang. Sebab hari menjadi gelap. Pergantian siang menjadi malam merupakan proses alamiah. Dan jasa besar matahari seketika akan terlupakan dan tak bermakna lagi. Sebab rembulan dengan cahaya syahdu remang-remang akan tergantikan. Sementara manusia lupa bagaimana tersiksanya bulan menyerap cahaya matahari agar memiliki cahaya indah di waktu malam.
Ampas kopi. Abu dan puntung rokok. Buku kuliah yang tak sempat diantar ke kamar bergeletakan di atas saung yang tak beralas. Melepas waktu isya yang akan kembali lagi esok hari. Seorang dari lima pemuda itu beranjak. Namanya Baung. Dia melewati pagar dan menyelinap ke pagar rumah kosong peninggalan para pendiri kampung. Bukan kebetulan si Baung menjadi personel pertama yang masuk. Sebab rambutnya yang panjang hingga pinggang menjadi pemancing awal agar warga yang melintas begidik ketakutan. Pasalnya Baung membiarkan rambut panjangnya terurai. Belum lagi bajunya yang berwarna putih. Baung berdiri di depan pintu usang itu. Punggungnya menghadap ke arah belakang. Angin yang bertiup kencang tak mampu mengoyangkan susunan rambut.
“Haaaaaa. Maaaamaa ada hantuuu,” ujar seorang bocah, Kuntai. Dia lari tunggang langgang melihat sosok putih berambut panjang.
Lain lagi dengan ibu Juha yang mempercepat langkahnya. Ada lagi Pak Kodir yang melangkah terburu sambil mulutnya berkomat-kamit, dan jemarinya terus memutar tasbih di tangan kanan. Ketakutan. Warga yang takut akhirnya menjauh dari rumah itu. Kesempatan itu kemudian dimanfaatkan oleh empat rekan Baung untuk bergerak, menyelinap dan melompat masuk ke rumah hantu tanpa diketahui warga. Selebrasi keberhasilan tak diunggkapkan dengan suara. Hanya tangan terkepal diayunkan ke sisi kanan badan sebagai penanda ‘yes’. Mereka lalu masuk ke dalam rumah.
Satu jam berselang. Baung, Iwa, Ilsum, Kipot, Eded keluar dengan mengendap. Langkah kaki diayun perlahan agar tak membuat bunyi dan gaduh bangunan yang telah usang. Mereka mulai keluar satu per satu dengan hasil jarahanya. TV, Tape recorder, buku kuno, lampu hias, pajangan dinding dan lainnya. Barang-barang hasil jarahan itu mereka kumpulkan di kamar mereka.
“Banyak dapat kita malam ini, Kem,”! ucap Iwa. Kem adalah sebutan kawan atau freind untuk kelompok mereka.
“Pesta kita, Kem!,” Kipot yang menyandarkan tubuhnya ke dinding menimpali.
“Ayolah kita jual,” kata Ilsum terengah-engah. Nafasnya belum pulih.
“Kalau mau jual sekarang, cepat jalan. Mumpung belum jam dua!. Nanti Hansip keliling, biasalah mukul tiang listrik dua kali,” Baung menjelaskan.
Mereka membagi tugas menjadi tiga rombongan. Satu rombongan terdiri dari dua orang. Karena mereka hanya berlima, satu orang dari luar kelompok dipanggil untuk menjadi tenaga bantu. Dalam istilah anak band disebut ‘pemain additional’, atau dalam  istilah kepolisian sebagai personel BKO (Bawah Kendali Operasi). Teknisnya, satu orang dari setiap kelompok terlebih dahulu menyiapkan sepeda motor. Lima menit berikutnya, orang kedua yang membawa hasil jarahan keluar kamar. Duduk di jok belakang. Sepeda motor langsung dipacu. Mereka berpencar saat di jalan raya. Menjual hasil ke tiga tempat berbeda.
*****
“Teng…. Teng….” Hansip Kosim memukulkan pentungan besi ke tiang listrik tanpa turun dari sepeda motor.
“Pak Kosim, sudah ngopi belum, Pak,?,” Iwa menyapa ramah.
“Belum ni Tong,” jawab Kodir datar.
“Ini Pak untuk Bapak,” kata Baung seraya menyodorkan sebungkus rokok.
“Jiah, lu gimana sih, tadi nanyanya ngopi, e malah dikasih rokok.” Kosim tertawa. “Koplak juga lu pada ya hahaah,”
Kosim pergi, mungkin kembali ke posnya. Enam pemuda itu masuk ke dalam rumah. Mereka terburu mengganti baju, dan langsung berangkat memacu sepeda motor yang telah berbulan-bulan tak berganti oli.
*****
Kali Ciliwiung membentang. Membelah perbatasan Jakarta Barat dan Utara. Airnya hitam pekat dan bau. Seolah , menggambarkan kehidupan malam di kawasan itu yang hitam dan bau. Anehnya, meski bau toh orang-orang dari berbagai penjuru tetap memburu tak kenal lelah. Saban malam. musik keras dengan beat cepat menghentak. Kerlip lampu berputar tak henti di setiap ruangan yang ada di komplek itu. Sementara ratusan bahkan ribuan sepeda motor terparkir di tempat gelap, dijaga sejumlah pemuda bertato.
Wanita-wanita cantik duduk di dekat pintu seluruh ruangan. Berbagai usia. Umur bukan pembeda, kemolekan dan keindahan tubuh yang utama untuk merayu pelanggan. Baung Cs masuk ke sebuah ruangan berisi deretan perempuan yang mengerlip manja. Tiga botol bir terhidang di atas meja. Musik terus mengentak. Suara bassnya menggerarkan jantung dan terus turun ke bawah. Gembira dan senang terpancar dari wajah mereka. Berpesta dengan uang yang diperoleh dengan tidak bekerja secara susah payah. Falsafah jalanan mengatakan, uang jin ketemu setan. Sementara tokoh revolusioner dari India, Mahatma Ghandi, mengatakan, akar kekerasan adalah kaya tanpa bekerja. Bukan kekerasan fisik, tapi kekerasan terhadap diri yang memiliki masa depan.
Dua puluh menit berlalu dengan terasa pendek. Satu per satu dari mereka menarik wanita penghibur lalu pergi, entah ke ruangan mana dan berbuat apa. Iwa masih di tempat duduknya. Dia tak memanggil wanita seorang pun. Tapi tak berselang lama, seorang gadis yang tampak baru menghabiskan masa remaja menghampiri Iwa. Namanya Teratai Kepodang. Teratai atau akrab disapa Tera duduk manja di sebalah kanan Iwa. Menggelendot manja seperti telah lama kenal. Bahasa tubuh mereka menunjukkan telah memiliki hubungan yang tak terdefenisikan.
“Kok kamu baru datang lagi?,” Tera berujar lembut. “Marah ya sama aku,”
Iwa terdiam sejenak. Matanya menatap tajam ke ara Tera. Tera tersenyum. Tangannya merapikan rambut Iwa yang tersebak di kening.
“Nggak marah. Aku baru punya uang, makanya aku kesini menemuimu, Terajana,” ujar Iwa.
“Nama aku Teratai, bukan Terajana!,” suara Tera meninggi namun lembut. Sok cemberut. Padahal girang.
Iwa dan Tera terbuai dalam obrolan singkat dengan bumbu kalimat yang menjurus ke arah nikmat. Sepuluh menit kemudian, seorang pria datang mengamit tangan Tera. Mengajak Tera ke kamar eksekusi. Tera berdiri dengan malas dan rasa tidak enak terhadap Iwa. Iwa tak mampu berbuat banyak. Dia hanya tertunduk, ada sedih dan cemburu yang menggelayut. Melepas Tera dan seorang pria menuju ruang yang di dalamnya lebih banyak gerak dari pada kalimat.
Baung Cs keluar dari kamar eksekusi dengan wajah menyeringai, bak ingin menunjjukkan bagaimana dan seperti apa kuasa pria. Mereka duduk berkumpul di atas kursi seperti semula.
“Kau tak masuk, Kem?,” Tanya Ilsum.
“Entahlah!,” Iwa tak bersemangat.
Sejurus kemudian, Tera muncul lagi ke ruang utama. Iwa bergeser tempat duduk ke sebelah. Berjarak lima meter dari rekan-rekannya.
“Kamu cemburu?,” kata Tera sesaat telah berada di sisi Iwa. Lelaki dengan rambut belah tengah itu mengangguk. Bibirnya sedikit dimonyongkan.
“Yah beginilah kerjaan aku,” Tera menghela nafas.
Iwa bangkit dari tempat duduk. Mengajak kawan-kawannya meninggalkan lokasi itu. Iwa beringsut. Malam ini ia tak menikmati bagaimana manjanya buaian Tera, seperti malam-malam sebelumnya yang telah dihabiskan Iwa bersama Tera. Baung Cs pergi. Pulang ke peraduan kamar perantau.
*****
Tiga bulan berikutnya
Mahasiswa memasuki masa libur. Baung Cs tak berlibur. Tetap di kamar. Menjalankan aktifitas normal. Di pagi Hari Minggu, keluarga mereka datang dari kampung. Tumpah ruah di kamar berukuran 5 x 6 meter itu. Suasana pun terasa sumpek. Kipas angin usang tak mampu mendinginkan ruangan. Baru sejenak para keluarga duduk, mata mereka menyisir ke seluruh arah ruangan. Tatap mereka terhenti ke atas sebuah lemari. Di atas lemari itu tersusun beberapa hiasan. Hiasan dinding, lampu hias, hiasan meja dan lainnya.
Para keluarga berdiri tanpa ada komando. Otomatis. Refleks. Tujuannya sama, yaitu benda-benda di atas lemari. Setiap mereka menjamah satu benda. Mereka menatap dengan seksama, seperti ada kedetakan atau ikatan dengan benda-benda itu. Mereka menoleh ke arah Baung Cs.
“Di mana kalian dapatkan hiasan ini?,” Tanya seorang keluarga.
“Emang kenapa?,” Baung Cs menyahut berbarengan.
“Ini punya kakek kita yang hilang. Ini dulu dititipkan ke Padepokan Mutiara,” jawab keluarga.
“Kenapa dititipakan?,” Baung Cs semakin penasaran.
“Dulu, saat PKI bergejolak, banyak perampok, penyamun yang menjarah negeri kita. Jadi terpaksa dititipkan ke Padepokan Mutiara. Tapi, tentara tak ada habisnya patroli, akhirnya enam orang dari Padepokan Mutiara itu pergi dari Negeri Hilir. Entah kemana,” Penjelasan panjang lebar diuraikan oleh keluarga. “Hiasan-hiasan ini adalah benda keramat di setiap keluarga dari kita yang harus diwariskan,”.
Baung Cs saling bertatapan. Tidak tahu bagaimana harus menceritakan. Mereka terjebak di antara rasa bangga menemukan benda keramat keluarga dan takut dimarahi jika ketahuan mencuri atau menjarah. Para keluarga pun menepuk-nepuk pundak Baung Cs. Bangga telah menemukan benda keramat milik keluarga. Tapi tidak halnya dengan Iwa. Benda keramat keluarganya tak ada di antara hiasan-hiasan itu. Iwa murung. Gundah. Gulana. Gelisah. Bingung.
“Kau kenapa kayak orang bingung, Kem,” Tanya Baung ke Iwa.
“Benda keramat keluarga kalian sudah ditemukan semua. Aku belum,” Iwa masih menunduk.
“Bukannya kemarin kau nyimpah satu hiasan. Mungin itu punya keluarga kau. Dimana kau taruh sekarang?,” Tanya Kipot.
“Ku kasih ke Tera tiga bulan lalu,” Iwa semakin menunduk.
“Seriusm Kem?,” Ilsum tak percaya.
“Kacau kau, Kem,” Eded berujar.
“Nomor HP Tera tak akfit-aktif lagi, baru saja ku coba telpon dia,” Iwa kian lesu.
Tiba-tiba, layar di telivisi yang menyala sejak tadi menyiarkan bahwa lokasi tempat Tera bekerja digusur oleh aparat gabungan. Kini rata dengan tanah. Iwa kalut.
“Kalian adalah anak lelaki satu-satunya di setiap keluarga. Memegang benda keramat ini adalah wajib. Jika tidak kalian akan tertimpa sial di akhir hidup. Beruntung kalian berhasil menemukannya,” jelas Keluarga.
“Sialnya gimana?,” Baung menelisik.
“Akan menderita penyakit kusta dan koreng busuk,” kata keluarga yang lain.
Muka Iwa memerah. Tangisnya pecah.
“AAAahhhhhhhhhhhhhhhh,” teriaknya. Iwa pingsan. Bayangan Tera tak hilang.
*****
Selesai
                                                                                            oleh idham siregar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar