Entah
dimana lautnya, desa itu dinamai dengan Kampung Mutiara. Dalam sejarahnya, tak
pernah berdiri kerajaan atau petilasan yang mungkin meninggalkan harta tertanam
yang menjadi awal mula penamaan kampung. Tapi, logika sedehana menegasakan
bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Setiap sesuatu yang terjadi jaman
kini pasti hasil dari
sejumlah rentetan proses yang telah bergulir sebelumnya.
Bak pepetah para tetua, rajin pangkal pandai. Malas pangkal bodoh. Hemat
pangkal kaya, dan nikmat pangkal paha.
Lalu
kenapa kampung itu bernama Mutiara? Sebuah riwayat yang tak tertulis menyebut
dahulu daerah ini mulanya dibuka oleh sekelompok orang pelarian. Namanya, Muti,
Mutia, Uti, Tia, Tiara dan Ara. Mereka adalah pelarian dari Negeri Hilir yang
diserang asap sepanjang jaman. Dalam pelariannya yang tak menggunakan kapal
layar, mereka akhirnya tiba di suatu daerah yang banyak tumbuh pohon rambutan.
Mereka tinggal disitu dan menamai kampung dengan sebutan Kampung Mutiara.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1965 silam. Saat Indonesia bergejolak hebat
karena ulah Soeharto.
50
tahun selanjutnya, para pendiri kampung telah lama mangkat dan meninggalkan
sebuah rumah yang kini tak perpenghuni. Rumah itu tak karuan. Terletak tepat di
pertigaan. Tampak berantakan di luar dan bagian dalamnya. Tak terawat hingga
terkesan seram atau keramat. Tak berlampu bak rumah hantu yang membuat
penasaran orang melintas. Takut tapi penasaran. Begitulah rasa takut. Tak
ubahnya seperti rasa cinta, kadang bikin takut tapi juga menghadirkan
penasaran. Tepatnya, meski takut mengungkapkan, namun rasa penasaran tetap
tumbuh. Maka, mencintai cinta itu seperti melihat rumah hantu. Menciptakan penasaran
dan rindu.
*****
Lima
pemuda pulang kuliah di suatu senja. Bersantai di atas saung seharga empat juta
rupiah. Atap rumbia dengan dinding dan lantai bambu. Bambu kuning yang pada
kurun tahun 1990an dikenal ampuh menjadi jimat penangkal makhluk pemburu kepala
anak. Mereka bercanda. Bergitaran. Ngobrol ngalor ngidul. Sesekali mereka
menatap ke sebelah kiri. Melongokkan kepala ke atas pagar setinggi orang
Somalia.
Adzan
yang berkumandang membuat kawanan pemuda itu girang bukan kepalang. Sebab hari
menjadi gelap. Pergantian siang menjadi malam merupakan proses alamiah. Dan
jasa besar matahari seketika akan terlupakan dan tak bermakna lagi. Sebab
rembulan dengan cahaya syahdu remang-remang akan tergantikan. Sementara manusia
lupa bagaimana tersiksanya bulan menyerap cahaya matahari agar memiliki cahaya
indah di waktu malam.
Ampas
kopi. Abu dan puntung rokok. Buku kuliah yang tak sempat diantar ke kamar
bergeletakan di atas saung yang tak beralas. Melepas waktu isya yang akan
kembali lagi esok hari. Seorang dari lima pemuda itu beranjak. Namanya Baung.
Dia melewati pagar dan menyelinap ke pagar rumah kosong peninggalan para
pendiri kampung. Bukan kebetulan si Baung menjadi personel pertama yang masuk.
Sebab rambutnya yang panjang hingga pinggang menjadi pemancing awal agar warga
yang melintas begidik ketakutan. Pasalnya Baung membiarkan rambut panjangnya
terurai. Belum lagi bajunya yang berwarna putih. Baung berdiri di depan pintu usang
itu. Punggungnya menghadap ke arah belakang. Angin yang bertiup kencang tak
mampu mengoyangkan susunan rambut.
“Haaaaaa.
Maaaamaa ada hantuuu,” ujar seorang bocah, Kuntai. Dia lari tunggang langgang
melihat sosok putih berambut panjang.
Lain
lagi dengan ibu Juha yang mempercepat langkahnya. Ada lagi Pak Kodir yang
melangkah terburu sambil mulutnya berkomat-kamit, dan jemarinya terus memutar
tasbih di tangan kanan. Ketakutan. Warga yang takut akhirnya menjauh dari rumah
itu. Kesempatan itu kemudian dimanfaatkan oleh empat rekan Baung untuk
bergerak, menyelinap dan melompat masuk ke rumah hantu tanpa diketahui warga.
Selebrasi keberhasilan tak diunggkapkan dengan suara. Hanya tangan terkepal
diayunkan ke sisi kanan badan sebagai penanda ‘yes’. Mereka lalu masuk ke dalam
rumah.
Satu
jam berselang. Baung, Iwa, Ilsum, Kipot, Eded keluar dengan mengendap. Langkah
kaki diayun perlahan agar tak membuat bunyi dan gaduh bangunan yang telah usang.
Mereka mulai keluar satu per satu dengan hasil jarahanya. TV, Tape recorder,
buku kuno, lampu hias, pajangan dinding dan lainnya. Barang-barang hasil
jarahan itu mereka kumpulkan di kamar mereka.
“Banyak
dapat kita malam ini, Kem,”! ucap Iwa. Kem adalah sebutan kawan atau freind
untuk kelompok mereka.
“Pesta
kita, Kem!,” Kipot yang menyandarkan tubuhnya ke dinding menimpali.
“Ayolah
kita jual,” kata Ilsum terengah-engah. Nafasnya belum pulih.
“Kalau
mau jual sekarang, cepat jalan. Mumpung belum jam dua!. Nanti Hansip keliling,
biasalah mukul tiang listrik dua kali,” Baung menjelaskan.
Mereka
membagi tugas menjadi tiga rombongan. Satu rombongan terdiri dari dua orang.
Karena mereka hanya berlima, satu orang dari luar kelompok dipanggil untuk
menjadi tenaga bantu. Dalam istilah anak band disebut ‘pemain additional’, atau
dalam istilah kepolisian sebagai
personel BKO (Bawah Kendali Operasi). Teknisnya, satu orang dari setiap
kelompok terlebih dahulu menyiapkan sepeda motor. Lima menit berikutnya, orang
kedua yang membawa hasil jarahan keluar kamar. Duduk di jok belakang. Sepeda
motor langsung dipacu. Mereka berpencar saat di jalan raya. Menjual hasil ke
tiga tempat berbeda.
*****
“Teng….
Teng….” Hansip Kosim memukulkan pentungan besi ke tiang listrik tanpa turun
dari sepeda motor.
“Pak
Kosim, sudah ngopi belum, Pak,?,” Iwa menyapa ramah.
“Belum
ni Tong,” jawab Kodir datar.
“Ini
Pak untuk Bapak,” kata Baung seraya menyodorkan sebungkus rokok.
“Jiah,
lu gimana sih, tadi nanyanya ngopi, e malah dikasih rokok.” Kosim tertawa.
“Koplak juga lu pada ya hahaah,”
Kosim
pergi, mungkin kembali ke posnya. Enam pemuda itu masuk ke dalam rumah. Mereka
terburu mengganti baju, dan langsung berangkat memacu sepeda motor yang telah
berbulan-bulan tak berganti oli.
*****
Kali
Ciliwiung membentang. Membelah perbatasan Jakarta Barat dan Utara. Airnya hitam
pekat dan bau. Seolah , menggambarkan kehidupan malam di kawasan itu yang hitam
dan bau. Anehnya, meski bau toh orang-orang dari berbagai penjuru tetap memburu
tak kenal lelah. Saban malam. musik keras dengan beat cepat menghentak. Kerlip
lampu berputar tak henti di setiap ruangan yang ada di komplek itu. Sementara
ratusan bahkan ribuan sepeda motor terparkir di tempat gelap, dijaga sejumlah
pemuda bertato.
Wanita-wanita
cantik duduk di dekat pintu seluruh ruangan. Berbagai usia. Umur bukan pembeda,
kemolekan dan keindahan tubuh yang utama untuk merayu pelanggan. Baung Cs masuk
ke sebuah ruangan berisi deretan perempuan yang mengerlip manja. Tiga botol bir
terhidang di atas meja. Musik terus mengentak. Suara bassnya menggerarkan
jantung dan terus turun ke bawah. Gembira dan senang terpancar dari wajah
mereka. Berpesta dengan uang yang diperoleh dengan tidak bekerja secara susah
payah. Falsafah jalanan mengatakan, uang jin ketemu setan. Sementara tokoh
revolusioner dari India, Mahatma Ghandi, mengatakan, akar kekerasan adalah kaya
tanpa bekerja. Bukan kekerasan fisik, tapi kekerasan terhadap diri yang
memiliki masa depan.
Dua
puluh menit berlalu dengan terasa pendek. Satu per satu dari mereka menarik
wanita penghibur lalu pergi, entah ke ruangan mana dan berbuat apa. Iwa masih
di tempat duduknya. Dia tak memanggil wanita seorang pun. Tapi tak berselang
lama, seorang gadis yang tampak baru menghabiskan masa remaja menghampiri Iwa.
Namanya Teratai Kepodang. Teratai atau akrab disapa Tera duduk manja di sebalah
kanan Iwa. Menggelendot manja seperti telah lama kenal. Bahasa tubuh mereka
menunjukkan telah memiliki hubungan yang tak terdefenisikan.
“Kok
kamu baru datang lagi?,” Tera berujar lembut. “Marah ya sama aku,”
Iwa
terdiam sejenak. Matanya menatap tajam ke ara Tera. Tera tersenyum. Tangannya
merapikan rambut Iwa yang tersebak di kening.
“Nggak
marah. Aku baru punya uang, makanya aku kesini menemuimu, Terajana,” ujar Iwa.
“Nama
aku Teratai, bukan Terajana!,” suara Tera meninggi namun lembut. Sok cemberut.
Padahal girang.
Iwa
dan Tera terbuai dalam obrolan singkat dengan bumbu kalimat yang menjurus ke arah
nikmat. Sepuluh menit kemudian, seorang pria datang mengamit tangan Tera.
Mengajak Tera ke kamar eksekusi. Tera berdiri dengan malas dan rasa tidak enak
terhadap Iwa. Iwa tak mampu berbuat banyak. Dia hanya tertunduk, ada sedih dan
cemburu yang menggelayut. Melepas Tera dan seorang pria menuju ruang yang di
dalamnya lebih banyak gerak dari pada kalimat.
Baung
Cs keluar dari kamar eksekusi dengan wajah menyeringai, bak ingin menunjjukkan
bagaimana dan seperti apa kuasa pria. Mereka duduk berkumpul di atas kursi
seperti semula.
“Kau
tak masuk, Kem?,” Tanya Ilsum.
“Entahlah!,”
Iwa tak bersemangat.
Sejurus
kemudian, Tera muncul lagi ke ruang utama. Iwa bergeser tempat duduk ke
sebelah. Berjarak lima meter dari rekan-rekannya.
“Kamu
cemburu?,” kata Tera sesaat telah berada di sisi Iwa. Lelaki dengan rambut
belah tengah itu mengangguk. Bibirnya sedikit dimonyongkan.
“Yah
beginilah kerjaan aku,” Tera menghela nafas.
Iwa
bangkit dari tempat duduk. Mengajak kawan-kawannya meninggalkan lokasi itu. Iwa
beringsut. Malam ini ia tak menikmati bagaimana manjanya buaian Tera, seperti
malam-malam sebelumnya yang telah dihabiskan Iwa bersama Tera. Baung Cs pergi.
Pulang ke peraduan kamar perantau.
*****
Tiga
bulan berikutnya
Mahasiswa
memasuki masa libur. Baung Cs tak berlibur. Tetap di kamar. Menjalankan
aktifitas normal. Di pagi Hari Minggu, keluarga mereka datang dari kampung.
Tumpah ruah di kamar berukuran 5 x 6 meter itu. Suasana pun terasa sumpek.
Kipas angin usang tak mampu mendinginkan ruangan. Baru sejenak para keluarga
duduk, mata mereka menyisir ke seluruh arah ruangan. Tatap mereka terhenti ke
atas sebuah lemari. Di atas lemari itu tersusun beberapa hiasan. Hiasan
dinding, lampu hias, hiasan meja dan lainnya.
Para
keluarga berdiri tanpa ada komando. Otomatis. Refleks. Tujuannya sama, yaitu
benda-benda di atas lemari. Setiap mereka menjamah satu benda. Mereka menatap
dengan seksama, seperti ada kedetakan atau ikatan dengan benda-benda itu.
Mereka menoleh ke arah Baung Cs.
“Di
mana kalian dapatkan hiasan ini?,” Tanya seorang keluarga.
“Emang
kenapa?,” Baung Cs menyahut berbarengan.
“Ini
punya kakek kita yang hilang. Ini dulu dititipkan ke Padepokan Mutiara,” jawab
keluarga.
“Kenapa
dititipakan?,” Baung Cs semakin penasaran.
“Dulu,
saat PKI bergejolak, banyak perampok, penyamun yang menjarah negeri kita. Jadi
terpaksa dititipkan ke Padepokan Mutiara. Tapi, tentara tak ada habisnya patroli,
akhirnya enam orang dari Padepokan Mutiara itu pergi dari Negeri Hilir. Entah
kemana,” Penjelasan panjang lebar diuraikan oleh keluarga. “Hiasan-hiasan ini
adalah benda keramat di setiap keluarga dari kita yang harus diwariskan,”.
Baung
Cs saling bertatapan. Tidak tahu bagaimana harus menceritakan. Mereka terjebak
di antara rasa bangga menemukan benda keramat keluarga dan takut dimarahi jika
ketahuan mencuri atau menjarah. Para keluarga pun menepuk-nepuk pundak Baung
Cs. Bangga telah menemukan benda keramat milik keluarga. Tapi tidak halnya
dengan Iwa. Benda keramat keluarganya tak ada di antara hiasan-hiasan itu. Iwa
murung. Gundah. Gulana. Gelisah. Bingung.
“Kau
kenapa kayak orang bingung, Kem,” Tanya Baung ke Iwa.
“Benda
keramat keluarga kalian sudah ditemukan semua. Aku belum,” Iwa masih menunduk.
“Bukannya
kemarin kau nyimpah satu hiasan. Mungin itu punya keluarga kau. Dimana kau
taruh sekarang?,” Tanya Kipot.
“Ku
kasih ke Tera tiga bulan lalu,” Iwa semakin menunduk.
“Seriusm
Kem?,” Ilsum tak percaya.
“Kacau
kau, Kem,” Eded berujar.
“Nomor
HP Tera tak akfit-aktif lagi, baru saja ku coba telpon dia,” Iwa kian lesu.
Tiba-tiba,
layar di telivisi yang menyala sejak tadi menyiarkan bahwa lokasi tempat Tera
bekerja digusur oleh aparat gabungan. Kini rata dengan tanah. Iwa kalut.
“Kalian
adalah anak lelaki satu-satunya di setiap keluarga. Memegang benda keramat ini
adalah wajib. Jika tidak kalian akan tertimpa sial di akhir hidup. Beruntung
kalian berhasil menemukannya,” jelas Keluarga.
“Sialnya
gimana?,” Baung menelisik.
“Akan
menderita penyakit kusta dan koreng busuk,” kata keluarga yang lain.
Muka
Iwa memerah. Tangisnya pecah.
“AAAahhhhhhhhhhhhhhhh,”
teriaknya. Iwa pingsan. Bayangan Tera tak hilang.
*****
Selesai
oleh idham siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar